Diproteksi: BIG ENEMY (PART 1)

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:

Diproteksi: ORDER (PART 2)

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:

Diproteksi: ORDER (PART 1)

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:

Annyeong ^^

selamat datang di BLOG saya…. ^^
ini blog pribadi yang berisi tentang kegajean, fanfiction, curhat, lirik lagu, pokoknya suka-suka gue mau ngisi apa. nggak perlu protes deh. *plak!digaplok reader… hohohoho…
disini bakal banyak tulisan yang gue protect… khususnya fanfiction… soalnya fanfiction disini juga pada gue post di wp mcsdfanfiction. karena gue author tetap disana. jadi bagi para reader yang nemuin bukti kalo ff gue dijiplak, mohon kerja samanya buat kasih tahu saya. ^^
makasih yang udah kunjung kemari… buat yang mau baca tulisan saya yang diprotect bisa tanya langsung ke saya pwnya… kamsahamnida… ^^

cerpen-_-lamunan malam part 3

“Masih pinjam buku, ya?” tanya petugas perpus itu.
“ Ha? Nggak tau. Tapi, katanya ngga ada tanggungan.” Kata Riri seolah member alasan.
“ Harusnya dikembalikan dahulu, baru bisa pinjem lagi.”
“ Ri, kamu malu nggak sih?” ucapku blak-blakan.
“ Nggak biasa-biasa aja.” Jawabnya sok santai.
Hih! Gayanya sok banget. Lebay. Emangnya bagus gay aloe itu? Sok keren. Ngaca makanya! Batinku.
“ Kok, aku yang nganter kamu malu,ya?” kataku sambil nyengir sendiri.
Kami keluar dari perpus dengan tangan hampa. Kami langkahkan kaki dijalan yang biasa aku dan Muti lewati. Berbagai pembicaraan dan cerita terucap sepanjang jalan.
Dan ketika hampir sampai di sebuah gang jalan sempit yang biasa digunakan sebagai jalan tembus para pengendara motor. Samar-samar kulihat seorang yang mungkin kukenal. Ya, maklum lah. Mataku kan, uda harus pakek kacamata. Tapi sungguh! Kayaknya aku kenal.
Kuhentikan langkahku sejenak. Kukerutkan alisku dan kupincingkan mataku. Kuamati sosok itu.
“ Kenapa, Ran?” tanya Riri.
“ Itu, kan…” kataku seakan ingin menunjuk namun ragu.
“ Siapa?” tanya Muti.
“ Willy! Itu! Willy!” kataku geger sendiri.
Namun, saat aku rebut sendiri sosok itu sudah masuk gang.
“ Iya, Ran! Itu Willy!” kata Muti seakan mendukung.
Kulanjutkan langkahku disertai langkah Muti dan Riri. Jantungku dag, dig, dug, duar! Perasaanku tak karuan. Tak terbayang semerah dan sejelek apa wajahku.
Sosok itu sempat menengok ke belakang, kemudian berjalan lebih cepat dari teman-temannya.
“ Dia pasti ngga mau liat gue! Gue kan, udah marah-marah tadi malem! Lagian palingan dia juga nggak mau membuka memori saat-saat itu.” Pikirku.
“ Mana, sih yang namanya Willy?” tanya Riri dengan gayanya.
Ih! Gue bête sendiri liat gayanya nih anak. Sok banget. Sok imut. Paling ya, imutan gue! Pikirku bersungut-sungut sendiri.
“ Itu, lho!yang tadi nengok kemari. Sekarang uda di depan sono!” jelasku.
“ Itu, yang pakek kaos putih!” kata Muti memperjelas penjelasanku.
Tapi kayaknya yang pakek kaos putih ngga Cuma 1. Ah, tau deh! Pusing sendiri! Batinku.
“ Oh…” kata Riri.
Kemudian entah kami ngomong apa. Yang aku pikirkan hanya perasaanku yang tak karuan. Sungguh aku ngga siap liat dia. Apalagi tadi malem aku habis marah-marah. Batinku lagi.
Ketika sampai di sebuah jalan, kami menyebrang. Kulihat ada yang beberapa anak dari segerombolan anak yang tadi bersama sosok itu. Disana pasti ada Willy. Batinku.
Kulirikkan mataku 90 derajat. Kuamati seseorang yang disebelahku. Yang sedang menengok ke belakang. Sembari senyum-senyum sendiri.
“ Hih! Nih orang! Ngapain senyum-senyum sendiri? Emangnya manis apa senyumannya? Pengen muntah baru iya!” bantinku lagi.
“ Ran, mukamu merah,” kata Riri setelah kami berjalan agak jauh.
“ Ha? Apa iya? Masak?” kataku seraya memegangi pipiku.
“ Beneran. Eh, Ran! Lumayan lho!” kata Riri dengan senyumannya yang menurutku tak mengenakkan untuk dipandang.
“ Ya, iya lah! Willy gitu loh!” kataku membanggakan dia.
“ Putih. Tinggi.” kata Riri memuji.
“ Ya, iya lah! Chinez!” kataku lagi.
“ Tapi…” katanya seakan kecewa.
“ Tapi apa? Ha?” tanyaku heran.
“ Ng.. nggak papa,” katanya sambil tersenyum.
Ih! Please deh! Berhenti deh, kasih gue senyuman loe yang jelek itu! gue nggak suka! Mending gue liat tong sampah yang bau! Dari pada harus liat senyum kecut itu. Batinku. Seberusaha apapun dia untuk mengeluarkan senyuman termanisnya. Tetap saja kecut bagiku.
“ Oya, tadi dia mau ngomong apa ya? Jangan-jangan! Awas aja kalo sampek beneran dia suka ma Willy! Ngaca dong! Mukanya kayak apa? Cantikan juga gue. Cantikan Indah dan Muti. Ih! Lagian, melek dong! Willy siapanya gue! Dia mantan gue! Dan pastinya loe tau, Ri! Lo ngerti kan, perasaan gue ke dia! Pakek ngomong lumayang segala lagi! Jangan harap Willy mau ma loe! Dia nggak bakal mau! Dia tuh, Cuma sayang ma gue! Walau pun dia bukan milik gue lagi! Awas loe sampek brani deketin dia! Gue bunuh elo! Hahahaha~” gerutuku dalam hati.
***
Hawa dingin semakin menusuk tulang. Petir pun menyambar bergantian. Dengan derasnya air hujan yang tak mau kalah. Suara kucing mengeong diluar kamarku. Tak perlu menduga dimana kucing itu. Pasti dibawah jendela kamarku. Suaranya mengusik renunganku.
“ Hus!” kataku sambil membuka jendela.
Seakan mengerti keadaan kalau kehadirannya mengusikku. Ia berlari menjauh sambil mengeong-ngeong.
“ Kasihan. Tapi nggak mungkin juga gue bawa masuk! Gue kan, takut ma makhluk sejenisnya.” gumamku.
Kubaringkan tubuhku di kasur pinkku. Kutarik selimut dan aku sandarkan kepalaku pada bantal. Mataku menatap ternit, namun pikiranku kembali melayang. Kembali ingatan masa lalu seakan berloncatan seenaknya dengan tak sopannya. Dan lagi-lagi sosok itu. Sosok yang tadi kutemui. Benar-benar sosok itu yang selalu ada di setiap lamunan malamku.
Kuucapkan doa. Kupejamkan mataku. Tak kupikirkan lagi semua tugas yang menunggu untuk kukerjakan. Karna bayangan sosok itu telah menghangatkan hatiku.
***

cerpen-_-lamunan malam part 2

Lamunan Malam Part 2
Kulihat jam. Sudah pukul 20.11 WIB. Kukedip-kedipkan mataku beberapa kali. Dan mataku benar.
“ Mampus! Udah jam segini! Synopsis belum gue selesain. Denah belum gue sentuh! Belum lagi drama besok!”gumamku.
“ Gila tuh, guru! Terakhir persentasi malah suruh maju pertama. Sarap! Udah gitu kelompok gue salah persentasi. Bego’nya, malah persentasi cerita asli padahal harusnya naskah! Tuh, guru galak banget lagi!” batinku.
***
Pikiranku meloncat. Terbayang lagi memori hari Rabu minggu lalu. Saat persentasi di depan kelas. Aku, Indah, Arga, dan Sidiq memang satu-satunya kelompok yang belum persentasi tentang analisa drama kami. Ya, mau tidak mau kami harus di depan kelas. Apalagi yang harus kami lakukan kalau tidak menjelaskan tentang analisa yang telah kami buat. Seusai membacakan, Bu Nia seakan siap menghantam kami dengan segudang pertanyaan. Layaknya diterpa tsunami kami hanya bisa pasrah tenggelam terbawa arus. Karna memang kami membuat sedikit kesalahan yang menjadikan banyak kesalahan.
Baru aku tahu rasanya. Pantas saja kalau anak-anak di kelasku tidak suka dengan pelajaran yang satu ini. Walau pun Cuma 1 jam pelajaran serasa 1 abad. Kakiku sampai pegal sendiri.
***
“ Ah! Tau deh! Bilang aja belum siap. Ngapain gue ambil pusing?” gumamku.
Tiba-tiba pikiranku meloncat lagi. Terbayang kejadian tadi siang yang benar-benar membuatku tak menyangka bakal jadi seperti itu.
Siang tadi, sepulang sekolah, Riri dan Indah ribut tentang kartu perpusda. Yah, maklum tugas synopsis mereka juga belum ngerjain. Aku sempat ikut nimbrung keributan mereka. Namun aku tak jadi ikut pinjam. Jujur aku malas mengerjakan tugas itu. Aku suka membaca. Tapi, kalau buntutnya tugas, betein.
Muti dan aku mengantar Riri ke perpusda untuk meminjam buku fiksi untuk tugasnya.
“ Cari tuh, yang tipis!” saran Muti sambil memilih-milih buku.
“ Ya, iya! Ngapain tebel-tebel?” kata Riri seakan ingin sependapat. Tapi yang dipegangnya buku yang tebal-tebal.
“ Sama juga bo’onk!” batinku.
Aneh. Kadang bingung sendiri aku dengan anak itu. Tapi akhirnya dia memilih sebuah buku yang kecil nan tipis. Dan kami pun pergi ke petugas perpus untuk meminjam buku itu. Namun, apa yang terjadi?

Bersambung~

cerpen-_-lamunan malam part 1

kupandangi buku di hadapanku. kutatap lekat seakan sedang serius membacanya. mataku tertuju pada tulisan-tulisan itu. tak kubaca. tak kuresapi. tatapanku terawang. bukan ilmu. bukan juga pelajaran. Hanya lamunan yang aku dapat.
Gemericik air hujan semakin memperkuat hasratku. Kuangkat kedua kakiku keatas kursi. Karna tak kuat menahan dinginnya lantai keramik yang sedingin es. Walau pun si kodok hijau telah menyelimuti kakiku. Seraya kupeluk lututku. Dan tetap kupandangi tulisan-tulisan itu.
Pikiranku melayang jauh. Terbayang dan teringat saat-saat dulu. Saat-saat indah bersamanya. Saat-saat yang berharga. Begitu cepat waktu berjalan. Andai aku bisa pergi ke masa lalu. Kan kuulang terus, hingga jenuh menghinggap rasa.
Namun, tiba-tiba saat-saat itu menghilang dan yang terlihat hanya aku disini sendiri. Meratap kesepian hati. Kupandangi sekeliling kamarku. Barang-barangnya hingga sudut-sudut ruangan yang tak pernah berubah. Dari dulu hingga sekatang.
Dan sekarang pandanganku terpusat pada sebuah benda. Buku merah pink dengan sampul tedy bear dengan jilid spiral. Mungkin seperti diary, namun bagiku buku itu seperti kumpulan kertas dengan coretan kesedihan dan keluhanku diatasnya. Hanya keluh kesah dan serasa penderitaan di dalam buku merah itu. Gambar tedy bear di sampul buku itu seakan tak pantas untuk menjadi sampulnya. Tedy bear coklat dengan memasang tampang senyuman sok manis menghiasi lembar depan itu. Kurasa bukan sok. Tapi memang manis. Hanya aku tak suka melihat senyum sumringah itu. Seakan dia mengejekku. Dia menyukai penderitaanku. Dia senang aku sedih.
Kuambil spidol papan putih. Kupandangi buku merah itu sejenak. Aku tersenyum kecut memandangi senyuman itu lagi. Kubuka tutup spidol dan kubuat garis lengkung cembung ke atas tepat di bibir senyuman tedy bear itu. Wajahnya yang tersenyum manis kini berubah. Cemberut dan jelek. Hahahaha… Dalam hati ku tertawa puas.
“ Akhirnya loe sedih juga! Nggak bisa lagi loe seneng atas penderitaan gue! Rasain loe! Jadi gambar aja belagu!” gerutuku dalam hati.

Bersambung~